Pemuda Ansor Menolak Anarkisme, Mengawal Aspirasi
- account_circle Laler Ijo
- calendar_month 19 jam yang lalu
- visibility 103

Kader Ansor Banser Kabupaten Tegal saat Apel Kesetiaan Kader pada Harlah Ansor
Delapan puluh tahun merdeka adalah capaian sejarah besar bangsa Indonesia. Namun, usia yang matang ini tidak serta-merta menghadirkan keadaan bangsa yang sepenuhnya stabil. Justru setelah gegap gempita perayaan HUT ke-80, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ketidakpuasan rakyat terhadap jalannya pemerintahan masih kerap mengemuka. Gelombang demonstrasi yang mengusung “17+8 Tuntutan Rakyat” menjadi bukti bahwa masih ada jarak yang cukup lebar antara aspirasi rakyat dengan kebijakan negara. Di sinilah Pemuda Ansor ditantang untuk hadir, bukan hanya sebagai saksi, melainkan juga sebagai penggerak solusi.
Tuntutan rakyat tersebut mencerminkan suara hati masyarakat yang sudah lama merasa tidak didengar. Harga kebutuhan pokok yang semakin mahal, ketidakadilan hukum, perilaku elitis pejabat yang sering menampilkan gaya hidup mewah, hingga kepercayaan yang kian menipis terhadap DPR dan lembaga negara lainnya. Ini semua bukan isu sederhana. Ia adalah cermin dari keresahan sosial yang nyata. Ansor sebagai organisasi kepemudaan yang lahir dari rahim NU, tidak bisa berpaling dari kenyataan itu. Sebaliknya, Ansor dituntut untuk memberikan pandangan yang jernih dan konstruktif.
Ketua Umum PP GP Ansor dalam berbagai kesempatan selalu mengingatkan bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum adalah bagian dari demokrasi yang sah. Namun, kebebasan itu tidak boleh ditunggangi kepentingan sempit atau berujung pada tindakan anarkis. Ansor berdiri di posisi yang jelas: menghargai aspirasi rakyat, sekaligus menolak keras segala bentuk kekerasan dan perusakan yang merugikan masyarakat luas. Di titik inilah Ansor perlu menegaskan jati dirinya sebagai pengawal demokrasi yang berkeadaban, bukan demokrasi jalanan yang kehilangan arah.
Jika dicermati, fenomena demo dengan 17+8 tuntutan ini juga menyingkap persoalan mendasar komunikasi politik. Pemerintah sering terlalu sibuk dengan pencitraan dan narasi, sementara rakyat membutuhkan aksi nyata. Hal-hal inilah yang kemudian melahirkan frustrasi publik hingga memaksa mereka turun ke jalan. Pemuda Ansor memandang bahwa negara perlu segera membangun kembali ruang dialog yang sehat. Bukan dengan menutup telinga, melainkan dengan membuka forum-forum yang menghadirkan rakyat secara nyata, bukan sekadar perwakilan simbolis.
Dalam sejarahnya, GP Ansor selalu tampil sebagai garda terdepan penjaga keutuhan bangsa. Dari melawan radikalisme, menjaga NKRI, hingga kini menghadapi tantangan sosial-ekonomi yang semakin kompleks. Menyikapi tuntutan rakyat, Ansor dapat mengambil peran sebagai mediator yang menyalurkan aspirasi rakyat ke ruang kebijakan tanpa harus menimbulkan konflik horizontal. Dengan jaringan kader yang kuat di tingkat desa, kecamatan, hingga pusat, Ansor bisa menggalang suara rakyat dengan cara yang damai, terstruktur, dan efektif.
Momentum HUT ke-80 juga semestinya menjadi pengingat bahwa kemerdekaan adalah janji, bukan hadiah. Janji untuk menghadirkan keadilan sosial, kesejahteraan, dan keamanan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketika rakyat turun ke jalan, itu berarti ada janji yang belum ditepati. Pemuda Ansor menyikapi ini dengan penuh kesadaran historis: bahwa perjuangan hari ini bukan lagi mengangkat senjata melawan penjajah, melainkan memastikan bahwa janji kemerdekaan benar-benar dirasakan rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Salah satu sikap yang bisa ditunjukkan Ansor adalah memperkuat literasi politik masyarakat. Kita sering melihat demo yang berubah anarkis karena massa mudah terprovokasi isu yang simpang siur. Ansor harus hadir dengan pendekatan edukasi, menegaskan bahwa perjuangan rakyat harus berlandaskan pada data, fakta, dan argumentasi yang kuat. Dengan begitu, aspirasi tidak hanya terdengar lantang di jalanan, tetapi juga mendapat tempat di meja pengambil keputusan.
Di sisi lain, Pemuda Ansor juga berkewajiban mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak pada sikap defensif. Tuntutan rakyat bukanlah ancaman, melainkan alarm untuk berbenah. Pemerintah yang menutup diri dari kritik justru akan menciptakan jurang yang semakin lebar dengan rakyatnya. Di sini, Ansor bisa memainkan peran penengah: menenangkan rakyat, sekaligus mendorong pemerintah agar lebih responsif dan bijaksana. Sikap inilah yang membedakan Ansor dengan kelompok lain; bukan sekadar reaktif, tetapi juga solutif.
Ketika bicara tentang anarkisme, Pemuda Ansor menolak dengan tegas segala bentuk tindakan yang merusak. Kekerasan tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi juga melukai nilai-nilai kemanusiaan dan keislaman yang menjadi fondasi Ansor. Namun, penolakan terhadap anarkisme tidak berarti menolak aspirasi. Justru, aspirasi rakyat harus dikawal agar sampai dengan baik kepada pemerintah, tanpa distorsi dan tanpa kekerasan. Inilah cara elegan yang sesuai dengan nilai-nilai Aswaja yang menjadi napas Gerakan Pemuda Ansor.
Dalam usia ke-80 tahun kemerdekaan, Pemuda Ansor ingin menegaskan harapan besar: bahwa bangsa ini bisa lebih dewasa dalam mengelola perbedaan. Demo dengan segala tuntutannya tidak boleh dilihat sebagai musuh, melainkan peluang untuk memperbaiki diri. Jika rakyat kritis, itu artinya rakyat peduli. Dan jika pemerintah berani mendengar, itu artinya pemerintah dewasa. Ansor ingin menjadi jembatan di antara keduanya, agar suara rakyat tidak hilang, dan agar negara tetap kokoh berdiri.
Akhirnya, di tengah gelombang demonstrasi dan keresahan rakyat, Pemuda Ansor hadir dengan sikap tegas: mengawal demokrasi yang damai, menolak anarkisme, dan memperjuangkan agar tuntutan rakyat dijawab dengan solusi nyata. Bagi Ansor, perjuangan hari ini adalah menjaga persatuan bangsa, meneguhkan Pancasila, dan memastikan bahwa cita-cita kemerdekaan tidak berhenti sebagai slogan, melainkan menjadi kenyataan yang dirasakan seluruh rakyat Indonesia.
- Penulis: Laler Ijo